Jumat, 06 Juni 2014


Tuntutlah Ilmu Sampai ke Hutan

Dengan wajah kusam baju kumal, anak-anak pedalaman Kabupaten Kepulauan Mentawai tampak serius menatap gurunya yang sedang membaca buku pelajaran. Di tengah keheningan hutan belantara, suara 15 siswa menggema mengikuti ejaan kalimat yang dibacakan seorang guru.

Di pedalaman Mentawai tepatnya di desa Butui anak-anak ingin sekolah. Inilah kisah bagaimana sekolah berlangsung hanya dengan dua guru di hutan Siberut Selatan.  Dengan menempuh perjalanan sekitar kurang-lebih dua jam serta melewati beberapa anak sungai dan jalan berlumpur anak-anak suku pedalaman Mentawai tetap bersemangat pergi ke sekolah walaupun terletak di tengah hutan.
Tampak sedang baris sekitar 20an murid Sekolah Patas sebelum memasuki ruangan kelas, di sekolah hutan ini hanya terdapat dua ruang kelas dengan tenaga pengajar honorer lulusan SMP. Sepertinya klise, tapi mendengar alasannya bersusah payah untuk bersekolah tetap saja mengharukan: "Supaya kami pandai, bisa menulis nama, bisa membaca surat." Surat di Siberut artinya luas. Buku, majalah, dan koran juga dinamakan surat. Kini beberapa anak sudah mulai bisa menuliskan namanya dan membaca beberapa kata. Tekad anak-anak desa Butui untuk bersekolah sekeras nyanyian mereka pada awal jam pelajaran. Lagu Ainai Kakai Sikolah Onimia Patas dinyanyikan dengan penuh semangat.

"Sebenarnya susah mengajari mereka membaca dan berhitung. Tetapi, melihat semangat mereka yang begitu besar, saya jadi ikut bersemangat mengajar. Apalagi anak-anak ini masih kerabat saya," Ujar salah seorang guru yang mengajar di sekolah Patas. Walaupun hanya diberi honor Rp. 400.000,- sebulan oleh seorang pastur yang mendirikan sekolah ini, kedua guru ini tetap bersemangat mengajar hingga jam satu siang.



Akhirnya, disadari atau tidak pendidikan sangat penting buat siapapun termasuk anak-anak pedalaman Mentawai tanpa harus melupakan tradisi serta kebudayaan. Jasa seorang guru pun banyak dibutuhkan di sini. Perlu adanya kesadaran dari pemuda penerus bangsa agar bersedia membantu mengajar anak-anak di daerah pedalaman untuk mencetak generasi yang berpotensi dan berprestasi. Semoga ..

Guratan Identitas Mentawai

Mentawai, sebuah gugusan pulau di bagian barat pulau Sumatera, terdiri dari pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Pulau Siberut merupakan pulau terbesar namun berpenduduk paling sedikit. Kehidupan masyarakat Mentawai, yang masih terjaga keasliannya dan belum banyak bersentuhan dengan peradaban, begitu pula dengan rumah tradisional Mentawai. Uma, sebuah rumah komunal, identitas masyarakat Mentawai, wujud kebersamaan yang telah mengakar.
Tidak pernah terbayang sebelumnya oleh kami akan menginap disebuah Uma atau rumah besar suku Mentawai di desa Butui, terkesan mistis memang waktu pertama kali saya memasuki dalam rumah tersebut. Dibagian depan dan tengah ruangan banyak tergantung berbagai macam tengkorak binatang seperti Kera, babi, kura-kura, serta orang. Hanya beberapa obor saja sebagai penerangan di malam hari menemani kami berbincang dengan Aman Lau Lau dan keluarganya.


Meskipun terlihat sederhana, Uma bukan hanya sebagai sebuah hunian melainkan juga sebagai bukti sejarah dan kebudayaan. Uma sendiri berbentuk rumah panggung untuk membangunnya harus disertai pelaksanaan upacara khusus yang dipimpin oleh ketua adat. Uma biasanya dihuni oleh 5 sampai 7 keluarga dari keturunan yang sama, mengikuti garis keturunan ayah. Kaum perempuan atau istri biasanya berasal dari Uma yang lain. Sebagai rumah adat, Uma memiliki kearifan tradisional, kontruksinya hampir seluruhnya terbuat dari kayu dan berbentuk panggung. Terdapat  batang-batang kayu yang menjadi inti atau penopang utama sebuah uma. Sedangkan pondasi rumah menggunakan batu karang yang memang lebih mudah didapatkan di Mentawai dibandingkan batu kali. Tiang pancang utama ini berkaitan dengan legenda yang dipercaya suku Mentawai mengenai dewa gempa yang disebut sebagai Teteu Ka Baga. Hal ini berkaitan dengan kondisi alam Mentawai yang rawan bencana terutama gempa.

Uma biasanya dibangun menggunakan lima jenis kayu, yaitu meranti putih, rotan, bambu, gaharu, dan pohon enau. Adapun untuk atapnya, digunakan atap rumbia yang terbuat dari daun sagu, atap ini dapat bertahan puluhan tahun. Kontruksi bangunan Uma dibangun tanpa menggunakan paku melainkan menggunakan pasak kayu, memakai teknik ikat, tusuk, dan sambung. Sambungan pangku dan sambungan takik. Uma tidak memiliki pintu, bagian depan berupa serambi terbuka yang merupakan tempat untuk berkumpul, mengobrol, dan menerima tamu siang hari. Di malam hari, serambi ini berubah fungsi menjadi ruang tidur para pria. Selain itu, disisi depan rumah terdapat panggung yang terbuat dari papa-papan tidak halus.
Ruang dalam pertama adalah ruangan yang serupa bangsal panjang, biasanya digunakan untuk menjamu tamu dan merupakan tempat dilangsungkannya rapat dan upacara adat. Ruang dalam pertama ini kemudian dipisahkan dengan ruang dalam kedua dengan sekat kayu. Di ruangan ini nterdapat perapian sebagai tempat memasak, bejana-bejana untuk keperluan upacara memohon keberhasilan dalam berburu. Ruangan ini biasanya juga digunakan sebagai tempat tidur keluarga.

Di antara perapian dan dinding belakang bangsal, terdapat lorong tengah yang merupakan tempat untuk menari. Lantai pada bagian lorong tengah terbuat dari papan lebar yang diserut sampai halus. Permukaan halus ini tentu baik bagi kaki penari, terlebih lagi lantai kayu dapat sekaligus menghasilkan instrumen musik pengiring tarian.

Lantai beranda biasanya terbuat dari papan, sementara lantai ruangan tidur dan dapur dari belahan kayu pohon kelapa yang dipasang jarang-jarang. Tinggi lantai sekira 1 m dari tanah. Kontur tanah yang tidak rata sebagai basis rumah disiasati dengan ketinggian tiang-tiang penopang yang disesuaikan sehingga dapat mendirikan rumah yang kokoh dan stabil. Kolong bawah rumah dijadikan sebagai kandang babi.

Keunikan lain dari uma adalah terdapat pajangan tengkorak binatang di dekat atap pintu masuk ruang utama. Tengkorak yang digantung tersebut adalah tengkorak babi yang dipercaya dapat mengundang rezeki atau hasil buruan yang lebih lagi. Selain itu, banyaknya tengkorak dapat menandakan jumlah pesta yang telah digelar di uma tersebut.

Selain uma, terdapat jenis rumah lain bagi suku Mentawai, yaitu lalep dan rusuk. Lalep adalah rumah tinggal bagi suami istri yang sudah menikah secara adat yang sah; biasanya lalep adalah bagian dari uma. Sementara rusuk adalah bangunan khusus yang dibangun bagi anak-anak muda, para janda, dan mereka yang terusir dari kampung.

Dengan segala keunikan, kesederhanaan, dan kearifan sebuah rumah adat, sungguh sangat disayangkan keberadaan uma kini semakin terancam. Uma sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat suku Mentawai yang kini tersentuh oleh modernitas. Mereka kini cenderung membangun rumah konstruksi beton. Ritual mendirikan uma yang biasanya harus disertai pesta dan upacara yang tidak murah juga menjadi salah satu alasan makin berkurangnya keluarga yang mendirikan uma.  Selain itu, kebijakan pemerintah untuk melakukan relokasi masyarakat suku Mentawai di pedalaman juga menjadi penyebab lain berkurangnya jumlah uma.




 

SENANDUNG DARI BUMI SIKEREI

Kepulauan Mentawai yang terletak di Sumatera Barat, terdiri dari pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Pulau Siberut merupakan yang terbesar tapi kurang dalam populasi dibandingkan dengan tiga pulau lainnya. Masalah komunikasi dan transportasi menyebabkan Pulau Siberut agak terbelakang dalam pembangunan. Kepulauan Mentawai terpisah dari daratan Sumatera diperkirakan sejak 500.000 tahun yang lalu di era Pleistosen oleh naiknya permukaan laut. Sejak itu pulau-pulau itu terisolasi.



Menelusuri pedalaman Mentawai selama 10 hari memberikan banyak kenangan dan pengalaman, Mentawai secara geografis merupakan daerah yang potensi wisatanya dapat diandalkan sebagai pemasukan khas daerah. Sebut saja daerah Katiet dengan ombaknya yang khas dan selalu diburu oleh para surfer dan beberapa desa seperti Madobak, Ugay serta Butui.
Potensi pariwisata Mentawai cukup lengkap, meliputi alam pegunungan, ratusan flora dan fauna endemik (berdasarkan hasil survei WWF-World Wildlife Fund), air terjun, danau, sungai, dan laut. Laut Mentawai menyimpan kekayaan pariwisata. Kekayaan itu dimulai dari 70 lebih spot selancar, 33 areal menyelam, dan 38 lokasi pemancingan terfavorit.

Pasca gempa 2010 lalu kini Mentawai berbenah diri untuk sektor pariwisata, Anda penasaran? Ikuti penjelajahan kami

Rabu, 04 Juni 2014


Menggapai Asa di Gunung Srandil

 Gunung Srandil yang berada di Cilacap memang sudah dikenal banyak masyarakat tidak hanya masyarakat sekitar tapi sudah dikenal luas sampai ke mancanegara, Gunung Srandil bagi yang percaya akan dapat mendatangkan asa atau harapan untuk kehidupan ‘lebih’. Banyak yang datang untuk sekedar berwisata atau bahkan mencari ketenangan bathin, penglarisan, jodoh, serta kekayaan. Anda penasaran dengan gunung ini? Tetap ikuti penelusuran Shelo Soedarjo dari Gunung Srandil

 Waktu menunjukkan sekitar pukul 13.00 WIB ketika saya tiba dilokasi ini, terlihat sepi memang dari pintu gerbang seperti tidak ada kegiatan. Beberapa orang datang menghampiri saya menawarkan jasa untuk memandu dikawasan Gunung Srandil, namun saya tolak dengan halus. Akhirnya saya menghampiri bapak tua yang ternyata adalah juru kunci Gunung Srandil. Beliau menuturkan semua keberadaan Gunung Srandil, “Gunung Srandil adalah sebuah bukit karang yang berada di pesisir Pantai laut Selatan di desa Glempang Pasir Kecamatan Adipala, Cilacap. Gunung Srandil dapat dicapai dari kota Kroya, dan kota Adipala.”

Gunung Srandil diyakini merupakan petilasan Kaki Semar (kaki=kakek) dan Pangreh Gaib (Pangreh=penguasa), dan juga berfungsi sebagai Padepokan dari Kaki Semar dan para Pangreh Gaib lainnya yang berkenan bersemayam disana. Kaki Semar terkenal dengan dhawuh-nya mengenai bagaimana menjalani hidup sebaiknya berpedoman kepada “Ojo dumeh, eling lan waspodo” atau “ jangan mentang-mentang, ingat dan waspada”. Dipercaya Srandi berasal dari kata Suro lan adil.
Apabila memasuki Gunung Srandil maka letak petilasan-petilasan tersebut di Kompleks Gunung Srandil dengan searah jarum jam, urut-urutan petilasan adalah sbb :

Petilasan Syech Jambu Karang atau disebut juga petilasan Dampo Awang atau Sam Poo Kong, disebut juga Eyang Jambu Karang karna disamping petilasan itu berdiri dan tumbuh pohon jambu yang entah sejak kapan pohon itu tumbuh karena sejak dulu hingga sekarang pohon itu berdiri dan tetap sebesar itu.

Petilasan Eyang atau Mbah Gusti Agung Heru  Cokro Prabu atau Syech Baribin. Tempat ini pada hari-hari biasa banyak dipakai sebagai tempat meditasi oleh orang-orang yang datang dengan keperluan tertentu karena diyakini bahwa tempat ini sebagai tempat berkumpulnya para gaib Bumi Nusantoro. Petilasan Eyang Sukma Sejati, letaknya sedikit agak diluar gunung, kira-kira 50 meter disebelah kiri gunung, didepan petilasan Eyang Gusti Agung terdapat pintu keluar menuju petilasan tersebut melalui jalan setapak.
Petilasan Nini Dewi Tunjung Sekarsari, dari pemahaman spritual maka Nini Dewi Tunjung Sekarsari adalah istri dari Kaki Semar.
Petilasan Kaki Tunggul Sabdo Jati Doyo Among Rogo atau disebut juga petilasan Kyai Semar. Bagi para spritualis atau mereka yang diberi kesempatan untuk melihat “penjaga” goa Kaki, maka goa Kaki ini dijaga oleh Eyang Kumbang Ali-Ali dan Eyang Sadipa.

Di puncak Gunung Srandil terdapat petilasan Eyang Lalnglang Buwana dan Eyang Mayangkoro. Bagi para spritualis dengan berdasar penjelasan Kaki Semar maka tempat ini diyakini sebagai tempat “kadewatan”nya Kaki Semar. Disekitar Gunung Srandil, masih banyak terdapat petilasan-petilasan lain seperti Petilasan Eyang Kumoloyekti, Petilasan Eyang Wuruh Galih, Petilasan Argo Puyuh, Petilasan Eyang Paku Jati dll.




Gunung Srandil setiap hari dikunjungi orang untuk berziarah oleh karena tempat tersebut tidak hanya dikenal oleh masyarakat sekitar saja tetapi sampai keluar Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Bali. dan Sulawesi, maka yang berkunjung tujuannya bermacam-macam. Para peziarah biasanya berkunjung atau bertapa pada Malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon pada Bulan Syura.

 

Mistis yang Membawa Romantisme

 

Aroma mistis begitu terasa ketika saya memasuki pelataran dari Benteng Pendem yang dibuat pada medio 1879, Benteng Pendem rampung dibangun oleh pemerintahan Belanda. Saat itu, bangunan megah ini dinamakan Kusbatterij op de Landtong te Tjilatjap. Bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia, artinya kurang lebih, “Benteng yang ada di atas tanah dan menjorok ke laut menyerupai lidah.“

 Pemerintahan Belanda menggunakan benteng ini sebagai garis pertahanan selatan pulau Jawa. Pertimbangannya, kondisi Cilacap saat itu dianggap aman, karena Pulau Nusa Kambangan menutupi area itu. Pada tahun 1942, kekuasaan bangunan kokoh tersebut ada di tangan tentara Jepang. Namun, Jepang hanya mampu mempertahankan kekuasannya selama kurang lebih tiga tahun, karena setelah itu benteng Pendem kembali lagi ke tangan tentara Belanda.

Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp. 8.000, perorang, petugas mempersilahkan saya masuk dan tak beberapa lama seorang pemandu menghampiri saya serta memperkenalkan diri bernama Aris untuk mengelilingi benteng ini. “ Di benteng ini memang sangat mistis, sering terjadi penampakan arwah-arwah masa lampau tetapi tidak menyurutkan pasangan muda-mudi untuk berpacaran di daerah areal ini,” ujar Aris, dari tutur katanya yang berlogat Bahasa jawa ‘ngapak’ sepertinya pemandu ini mencoba menghadirkan suasana lebih mistis walaupun saya tidak sedang beruji nyali di benteng ini.




Benteng Pendem selesai dibangun pada 1880. Saat itu benteng dilengkapi dengan 6 meriam besar ukuran 24 cm, 16 meriam perunggu ukuran 12 cm, 14 meriam kecil ukuran 8 cm, dan 4 mortar ukuran 29 cm. Peralatan tempur itu menempatkan Benteng Pendem sebagai benteng dengan peralatan tempur berat paling modern di Indonesia waktu itu. Intensitas penggunaan benteng sangat tinggi pada periode 1880-1890. Kemudian mulai meredup setelah 1890 sampai pecahnya Perang Dunia II.
Pada saat masuknya tentara Jepang ke Indonesia, Benteng Pendem dijadikan markas tentara Jepang. Namun pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang kalah perang dengan pihak sekutu, Benteng Pendem Cilacap kembali ke tangan tentara Hindia Belanda sampai dengan tahun 1950.
Selama 2 tahun sampai dengan tahun 1952 Benteng dalam keadaan kosong dan tidak ada yang menempati, baru pada tahun 1952 akhir sampai dengan 1965 di jadikan markas Tentara Nasional Indonesia antara lain Pasukan Banteng Loreng. Dalam perjalanan sejarah, Benteng Pendem sempat di manfaatkan untuk markas latihan lintas hutan, gunung, rawa dan laut oleh Pasukan RPKAD (KOPASSUS) yang membangun Tugu Monumen Peluru 2 buah sebagai pintu utama masuk kedalam Komplek Benteng Pendem pada saat itu.
Mulai tahun 1965 – 1986 lokasi Benteng termakan waktu bergelut dengan cuaca serta musim tak terusik, sampai Pemerintah melaksanakan Pembangunan Dermaga kapal, kantor dan tangki minyak untuk Pertamina dengan sebutan Area 70 memanfaatkan sebagian areal Benteng Pendem seluas 4 ha.


Setelah puas menelusuri benteng ini selama kurang-lebih dua jam, akhirnya saya dan kawan-kawan beristirahat di Pantai Teluk Penyu yang letaknya berhadapan dengan Benteng Pendem sambil menyusun perjalanan ketempat berikutnya.

Pesona Wisata di Selatan Jawa

 

Menyebut kota Cilacap bagi sebagian orang pasti akan berasumsi dengan penjara Nusakambangan yang terkenal dengan sebutan Alcatraz-nya Indonesia, tetapi dibalik itu semua Cilacap menyimpan pesona pariwisata yang sangat beragam. Sebut saja diantaranya seperti: Benteng Pendem, benteng bekas peninggalan colonial Belanda ini masih berdiri kokoh dan megah. Gunung Srandil yang terkenal dengan keangkerannya tapi masih saja banyak dikunjungi orang untuk mencari pesugihan atau pantai Widyapayung bagi peselancar sudah tidak asing lagi. Semua objek wisata ini memang patut traveler’s kunjungi karena sebutan Skolandia Van Java memang cocok disematkan untuk kota Cilacap yang begitu menarik dan penuh dengan nilai histori. Anda penasaran? Ikuti perjalanan crew Indonesia Traveler menelusuri Cilacap.





Jelajahi Keunikan Buenos Aires







Belum sempurna kunjungan Anda jika ke Argentina tidak menjajal Tarian Tango,” begitulah ungkapan seorang teman yang pernah punya pengalaman menjelajah Argentina. Memang, salah satu kekhasan yang dimiliki Argentina itu sempat saya temui ketika menginjakkan kaki di Kota Buenos Aires. Selain Tango, kota ini juga menyimpan keindahan dan keunikan tersendiri yang patut juga Anda nikmati.

Buenos Aires merupakan salah satu kota terbesar di Argentina. Secara geografis letak kota ini sangat strategis, karena ditinjau dari sektor wisata, kota ini memiliki banyak destinasi unik yang bisa dijelajahi para wisatawan.

Selain memiliki keragaman obyek wisata, kota Buenos Aires juga memiliki keunikan tersendiri, satu di antaranya, setiap hari Minggu, jalan-jalan yang biasanya padat, mendadak sepi. Toko-toko tutup. Pusat keramaian pun tak ada pengunjung. Rupanya, di negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Katolik itu  hampir semua aktivitas memang  berhenti di hari Minggu. Hampir saya mendapat kesan yang salah tentang Buenos Aires sebagai kota yang kosong.

Apalagi saat melintas di tugu El Obelisco atau The Obelisk - Monas-nya Argentina. Avenida 9 de Julio atau Jalan 9 Juli yang menuju ke tugu terlihat begitu lapang dan lengang. Lalu lintas sepi. Padahal jalan ini terdiri dari 9 lajur. Bayangkan, 9 lajur dan sedikit sekali kendaraan yang melintas. Terasa begitu hening.

Namun, demikian tetap saja animo wisatawan untuk datang ke Argetina, khususnya Kota Buenos Aires tetaplah tinggi.

“Jumlah wisatawan dari berbagai negara semakin meningkat tiap tahunnya, untuk tahun 2011 saja, sekitar 5 juta wisatawan mengunjungi Argentina,”tutur Javier A. Sanz de Urquiza, Duta Besar Republik Argentina.

Buenos Aires juga menyimpan keunikan lain yang patut Anda lihat, seperti halnya  deretan bangunan kuno bergaya Eropa klasik.

Menurut cerita, bangunan kuno itu dibangun dengan bahan berkualitas terbaik. Rata-rata diimpor langsung dari Eropa. Pada saat membangun gedung-gedung itu, Argentina terutama di abad ke-18 dan ke-19 tengah mengalami masa kejayaannya, bahkan dijuluki salah satu negara termakmur di dunia.

Argentina merupakan penghasil bahan tambang perak terbesar di dunia kala itu. Karena kualitas material yang oke, bangunan-bangunan itu masih kokoh berdiri sampai sekarang.

Ketika menginjakkan kaki di kota ini, saya juga sempat mengikuti guided tour keliling kota. Salah satu objek yang disinggahi adalah distrik La Boca. Yang terkenal di distrik itu adalah kawasan Caminito, tempat lahirnya tarian khas Tango.

Menurut sebuah riwayat, awalnya Tango adalah tarian kalangan kelas pekerja, dibawakan untuk mengisi waktu luang. Lama-lama, peminat tarian tersebut meluas keluar dari Caminito dan mulai disuka kalangan atas. Setelah itu Tango menjadi tarian nasional Argentina.

Disini turis juga bisa menyaksikan seniman penari Tango di pinggir jalan. Sangat eksotis. Para wisatawan juga dapat berpose dengan sang penari. Tentu saja dengan gaya seperti penari handal.

Berkunjung ke Argentina kurang lengkap tanpa melihat pertunjukan Tango. Malam terakhir di Buenos Aires saya berkesempatan menontonnya langsung, di rumah pertunjukan yang menyajikan paduan makan malam dan pertunjukan musikal. Tema yang disuguhkan adalah romantika di sela perjuangan merebut kemerdekaan Argentina.

Plotnya sederhana. Skenarionya mudah ditebak. Seorang pemuda yang sedang dimabuk asmara harus meninggalkan kekasihnya, berjuang mengangkat senjata merebut kemerdekaan. Cerita terus bergulir. Ada adegan memadu kasih yang romantis. Adegan peperangan yang menggelegar, kisah sedih tentang mereka yang gugur di medan laga. Semua disajikan dalam tarian Tango yang mempesona. Sampai akhirnya cerita berujung dengan kemerdekaan Argentina. Bendera biru-putih-biru berkibar. Alur cerita yang sederhana namun menakjubkan. Disertai bumbu nasionalisme yang tidak dibuat-buat.

Eksotis

Bangunan apartemen, toko souvenir, kafe, dan restoran di kawasan Caminito kerap dicat dengan warna menyala. Warna-warni bangunan itu menjadi ciri khas Caminito. Nah, saat berada disini jangan lupa untuk singgah  di La Boca, merupakan lokasi Estadio de la Bombonera, kandang klub Boca Juniors. Klub sepakbola ini merupakan idola kelas pekerja menengah ke bawah di Buenos Aires. Maradona, yang mengawali karirnya di sini, dipuja layaknya dewa oleh para fans. Warna kebanggaan Boca Juniors, biru dan kuning, terlihat dominan di sekitar stadion.

Objek menarik lainnya adalah La Casa Rosada atau Rumah Pink. Warnanya memang pink, padahal fungsinya adalah sebagai istana kepresidenan. Namun warna pink tidak mengurangi wibawa istana presiden ini.

Istana terletak di dekat Plaza de Mayo, alun-alun nasional Argentina. Setiap hari Kamis di Plaza de Mayo digelar kegiatan untuk mengenang mereka yang hilang pada saat Argentina dikuasai junta militer tahun 1960-an sampai pertengahan 1970-an. Foto-foto mereka yang dihilangkan secara paksa oleh junta militer dipajang. Ibu-ibunya berpawai tak kenal lelah, seolah anak-anak mereka yang hilang puluhan tahun silam itu akan kembali. Ibu-ibu beranjak tua, masyarakat dan simpatisan mulai banyak bergabung. Ritual ini sangat terkenal dan menjadi inspirasi.

Kuliner

Peternakan adalah salah satu sumber ekonomi Argentina. Tidak heran jika daging mendominasi kuliner negeri ini. Makan daging mungkin hal biasa. Namun menikmatinya ala Argentina benar-benar luar biasa. Bayangkan saja, sapi dipotong jadi empat atau lima bagian dibakar di tengah restauran. Pengunjung tinggal datang membawa piring, tunjuk bagian mana yang ingin dinikmati, dan katakan porsinya sebesar apa. Tergantung kekuatan perut dan ada tidaknya pantangan. Membeli sate kiloan di tanah air rasanya menakjubkan. Apalagi makan daging sepuasnya, dalam arti yang sebenarnya. Mereka yang suka makan bisa ‘mabuk daging’ disini.

Puas bersantap malam, saat waktunya beristirahat. Malam itu saya sangat bahagia, keinginan melihat Argentina terwujud. Dalam keadaan setengah tertidur, alunan suara Madonna menyanyikan lagu Don’t cry for me, Argentina sayup terdengar.

Don’t cry for me Argentina. The truth is I never left you.All through my wild days. My mad existence.I kept my promise,don’t keep your distance.